• DESA PEKRAMAN



    DESA tradisional Hindu di Bali pada zaman penjajahan Belanda disebut Desa Adat. Sebelumnya, penguyuban hidup berdasarkan ajaran agama Hindu itu disebut Desa Pekraman. Hal ini karena di desa itu ajaran agama Hindu diterapkan sampai menjadi tradisi yang makin menguat.
    Kebiasaan sampai menjadi tradisi yang semakin menetap itu, oleh ahli Belanda seperti Van Volen Oven dan Snouck Hugrogne, Setelah zaman reformasi, istilah Desa Adat dikembalikan pada nama aslinya yaitu Desa Pakraman. Di Kerajaan Majapahit, nama desa itu disebut Desa Drstha.
    Dalam lontar Mpu Kuturan disebutkan bahwa Mpu Kuturan menyarankan pada Sang Raja Bali supaya agamalah yang dijadikan pegangan oleh Sang Raja dalam menata kehidupan Kerajaan. Dalam lontar Mpu Kuturan dinyatakan, "Desa Pakraman winangun dening sang catur varna manut lingin sang hyang aji". Artinya, Desa Pakraman dibangun oleh Sang Catur Varna berdasarkan ajaran kitab suci (agama Hindu). Maksudnya, "Atas kehendak Sang Catur Warnalah didirikan tempat pemujaan seperti Pura Bale Agung, Pura Puseh dan Pura Dalem di Desa Pakraman".
    Kata "desa" berasal dari bahasa Sansekerta, dis, artinya petunjuk kerohanian. Dari kata ini timbul istilah Upadesa artinya sekitar petunjuk-petunjuk rohani, Hita Upadesa artinya petunjuk untuk mendapatkan kebahagiaan rohani. Pakraman berasal dari kata grama bahasa Sansekerta atau village dalam bahasa Inggris. Kata village inilah diartikan "desa" dalam bahasa Indonesia.
    Desa sebenarnya berarti petunjuk-petunjuk hidup kerohanian yang berlaku dalam suatu grama. Kata grama lama-lama menjadi krama, artinya suatu petunjuk kerohanian yang berlaku dalam suatu grama. Jadi, Desa Pakraman adalah suatu penguyuban hidup dalam suatu wilayah tertentu dimana kehidupan bersama itu diatur oleh suatu batasan-batasan berdasarkan ajaran agama Hindu. Yang disebut Desa Adat dewasa ini sesungguhnya adalah Desa Pakraman.

    Menata Umat
    Desa Pakraman pada hakikatnya adalah pengejawantahan ajaran agama Hindu dalam menata umatnya dalam suatu wilayah desa. Awig-awig adalah norma utama untuk menata dinamika kehidupan di Desa Pakraman. Sumber awig-awig adalah ajaran agama Hindu. Ciri pokok dari Desa Pekraman adalah adanya Kahyangan Tiga yang disebut sebagai unsur Parhyangan, Krama Desa sebagai unsur Pawongan dan ada wilayah desa disebut unsur Palemahan.
    Desa Pakraman itu adalah lembaga sosial religius Hinduistis, demikian almarhum Bapak Cokorda Raka Dherana, S.H., mantan Dekan Fakultas Hukum Unud. Titik tolak kita membahas Desa Adat adalah dari sudut pandang agama Hindu, bukan yang lainnya. Berbicara soal agama Hindu tidaklah kita bicara soal spiritual semata. Agama Hindu adalah agama yang membahas Sradha dan Bhakti pada Tuhan dalam hubungannya dengan kehidupan dengan segala totalitasnya.
    Berbicara soal kehidupan adalah berbicara soal Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit dengan segala permasalahannya baik yang bersifat sekala maupun niskala. Desa Pakraman sebagai wadah umat Hindu untuk mengamalkan ajaran agama Hindu. Desa Pakraman seyogianya dibina sebagai wadah untuk mengembangkan kehidupan sekala dan niskala secara simultan berdasarkan ajaran agama Hindu.
    Sebagaimana disebutkan dalam lontar Mpu Kuturan, yang mendirikan Desa Pakraman adalah sang catur varna. Ini berarti Desa Pakraman itu adalah wadah untuk mengembangkan empat profesi dan fungsi dalam rangka mewujudkan empat tujuan hidup mencapai Dharma, Artha, Kama dan Moksha. Kitab Brahma Purana 228,45 menyebutkan bahwa sarira kita ini diberikan oleh Tuhan hanyalah sebagai alat untuk mencapai empat tujuan hidup. Empat tujuan hidup itu dicapai secara bertahap sesuai dengan tahapan hidup. Dalam kitab Agastia Parwa disebut ada empat tahapan hidup yang disebut Catur Asrama.
    Pada Brahmacari Asrama, hidup diprioritaskan untuk mencapai Dharma, Grhastha Asrama memprioritaskan untuk mencapai Artha dan Kama, sedangkan dalam tahapan hidup Wana Prastha dan Sanyasa Asrama hidup diprioritaskan untuk mencapai Moksha. Tiga Asrama hidup di tengah-tengah masyarakat yaitui Brahmacari, Grhastha dan Wana Parstha. Sedangkan kalau sudah mencapai Sanyasa Asrama, seseorang sudah lepas sama sekali dengan kehidupan masyarakat. Tujuan hidupnya hanya satu, melepaskan Sang Hyang Atma dari badan wadag.
    Pada kenyataannya yang duduk sebagai krama di Desa Pakraman adalah teruna-teruni (Brahmacari), krama ngarep (Grhastha) dan krama pengelingsir (Wana Prastha). Karena itu, Desa Pakraman pada hakikatnya adalah Asrama untuk mensukseskan empat tujuan itu. Untuk mensukseskan empat tujuan hidup itu, setiap Asrama wajib mengembangkan profesinya agar mereka dapat berfungsi dengan baik di masyarakat dalam mengembangkan kehidupannya untuk mencapai tujuan hidup tersebut.

    Membina Umat
    Desa Pakraman membina umat agar dapat mengembangkan Asrama Dharma dan Wana Dharma. Teruna-teruni dibina menjadi Brahmacari yang kuat berpegang dengan swadharma-nya. Demikian juga para Grhastha yang menjadi krama adat yang ngarep dibina menjadi Grahasthin yang bertanggung jawab sesuai dengan swadharma-nya, demikian seterusnya.
    Sejak ia Brahmacari, Asrama dikembangkan minat, bakat dan tabiatnya agar menjadi SDM yang taat beragama sehat jasmani dan profesional sehingga dapat berfungsi dalam memajukan masyarakat lingkungan, baik sebagai krama adat maupun sebagai warga bangsa dan warga negara. Profesi yang dikembangkan adalah profesi yang dapat membangun manusia dan masyarakat yang seimbang secara sekala dan niskala.
    Untuk membangun manusia dan masyarakat yang demikian itu, profesi catur warna-lah yang sangat dibutuhkan. Membimbing krama di bidang kerohanian dibutuhkan SDM Brahmana yang profesional. Untuk mewujudkan rasa aman dan tertib politik secara sakala dibutuhkan SDM Ksatria yang profesional. Untuk membangun kesejahteraan ekonomi, dibutuhkan SDM Waisya yang profesional. Untuk membantu kewajiban tiga warna tersebut dibutuhkan SDM Sudra dengan tenaga yang kuat dan tangguh.

    Sumber 
     (I Ketut Wiana)
    http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=942&Itemid=29

0 comments: